Sabtu, 17 Mei 2008

Orang Gila Masuk Surga?

Pertanyaan :BAPAK Pendeta, suatu hari di tempat kerja saya, ada beberapa teman seiman yang sedang bercanda. Dalam canda itu mereka membicarakan masalah orang gila dengan berbagai nasib serta keanehannya. Di tengah keriuhan suasana, tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Apakah orang gila itu bila mati masuk surga?” Dan pertanyaan “iseng” itu ternyata membuat perdebatan itu makin hebat dan seru. Peserta terpecah pada dua kubu: pro dan kontra, surga dan neraka. Tolong Bapak jelaskan menurut Alkitab.Tri-JakartaJawaban :Apakah orang gila bisa masuk surga? Sebuah pertanyaan yang bisa dipertanyakan kembali: Apa yang membuatnya tidak bisa masuk Sur-ga? Kata “gila”, segera meng-ganggu kita. Dan jika diperpan-jang, tentu saja banyak perta-nyaan lainnya, seperti orang idiot dan seterusnya. Belum lagi bayi yang berumur satu hari, atau bah-kan orang yang bermukim di pedalaman, yang notabene tidak pernah mendengar Injil tapi sudah meninggal.Keselamatan menjadi kebutuhan setiap orang, siapa pun dia (tua atau muda, waras atau gila, pen-deta atau orang awam—semuanya perlu keselamatan). Alkitab ber-kata, “Semua orang telah jatuh ke dalam dosa sebagai konsekuensi kejatuhan Adam (I Korintus 15: 20-22). Ini disebut sebagai dosa turunan, dosa warisan, di mana Adam sebagai reseprentatif manu-sia, berdosa kepada Tuhan. Dan perbuatan dosa itu telah menjadi nyata di dalam kehidupan manusia (Roma 3: 9-20).Jadi, sekali lagi setiap manusia perlu diselamatkan, dan kesela-matan itu hanya ada di dalam penebusan Yesus Kristus. Ini juga berarti, setiap orang bisa dise-lamatkan berdasarkan kemurahan Tuhan, bukan melihat apakah manusianya itu waras atau gila. Ka-rena apabila berdasarkan peme-nuhan syarat, maka tidak seorang pun yang selamat, entah dia waras atau tidak, karena tidak seorang pun yang layak, yang memenuhi syarat, untuk diselamatkan.Sekarang, mari kita pahami apa yang dikatakan Alkitab soal keselamatan.Efesus 2:8-9. Keselamatan adalah kasih karunia. Dengan tegas Alkitab mengatakan keselamatan bukanlah hasil usaha manusia, baik pribadi maupun kolektif. Karena itu manusia tidak bisa memegahkan diri, untuk apa yang telah dia perbuat. Keselamatan sebagai ka-runia Allah, mendahului setiap tin-dakan (pelayanan, persembahan, ibadah, doa, puasa) maupun status manusia (kaya, miskin, sehat, sakit, waras, atau gila).Yohanes 3:16. Keselamatan adalah karena percaya/beriman. Iman yang muncul karena dorongan kasih karunia (bukan kemampuan rasio), yang memam-pukan manusia per-caya kepada Yesus sebagai Tuhan yang menebus dosa dan juru selamat manusia (I Korintus 12: 3).Yohanes 16: 8-11. Untuk percaya, tentu saja diawali dengan kesadaran dan penga-kuan manusia akan dosanya. Kesadaran dan pengakuan yang muncul sebagai anugerah yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang diikuti de-ngan pengakuan percaya kepada Yesus Kristus. Kepercayaan manusia timbul karena dimam-pukan oleh Roh Kudus.Sementara bagi peristiwa di luar jangkauan manusia, seperti keselamatan bayi atau orang yang tidak sempat mendengar Injil selama hidupnya, Alkitab berkata dalam Ulangan 29: 29: Hal hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan Allah kita, tetapi hal hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini. Artinya ada bagian yang kita me-ngerti yaitu percaya selamat, menolak binasa. Yang menolak yang binasa, bukan yang tidak waras. Sementara yang tidak sempat percaya atau bayi, menjadi kedaulatan Allah yang tidak kita ketahui. Allah adil dalam tiap tindakan-Nya.Nah, rekan Tri, saya harap jawaban ini cukup jelas, bahwa keselamatan adalah anugerah dan orang gila pun bisa mendapatkan-nya. Menyangkut sikap “percaya”, itu unik sekali, karena lebih merupakan sikap hati/iman yang melintasi rasio. Ketidak-warasan seseorang, itu tidak sama dengan tidak beriman.OK, selamat melanjutkan dis-kusinya dengan teman-teman seiman. Semoga semua sudah berlangganan REFORMATA, supaya dapat informasi yang selalu up to date.

Singkong dan Air Putih,

Pertanyaan : Bapak Pendeta yang terhormat. Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus dan murid-murid memakan hosti yang tidak beragi serta minum anggur. Hosti sebagai lambang tubuh Yesus, sedangkan anggur lambang darah Yesus (Yohanes 6:51, Yohanes 6:53).Pertanyaan saya, apakah hosti dan anggur yang sudah ditetapkan oleh Yesus itu dapat kita ganti dengan makanan/minuman lain? Misalnya singkong dan air putih, atau kerupuk dengan sirup? Saya sendiri berpendapat, itu bukan Perjamuan Kudus seperti yang sudah ditetapkan Yesus. Saya ingin para pendeta/pengajar/gembala sidang dapat memberi pengajaran kepada jemaat berdasarkan kebenaran dari Firman Tuhan.John SihiteJl.Benda Timur XI Blok E 76/26 Pamulang Permai 2 Ciputat, Tangerang, BantenJawaban:Yang terkasih, Sdr. John Sihite.Pertanyaan Anda sangat menarik, karena menyentuh bagian yang penting dalam kehidupan umat Allah, yaitu Perjamuan Kudus. Untuk membahas hal ini kita perlu membagi dulu antara perjamuan itu sendiri dan benda-benda untuk perjamuan. Sakra-men Perjamuan Kudus itu sendiri merupakan keharusan yang memang diperintahkan Tuhan kepada gereja-Nya (Lukas 22:19-20). Perjamuan Kudus merupakan sikap iman yang harus dinyatakan, sebagai refleksi keterikatan kita dengan Yesus Kristus Tuhan, juruselamat, kehidupan sejati (Yohanes 14: 6). Saya yakin, untuk hal ini Anda pasti setuju, bukan?Sekarang, soal apakah benda-benda Perjamuan Kudus (roti dan anggur) boleh diganti dengan yang lainnya (singkong dan air putih, misalnya). Dalam konteks Alkitab, roti telah dikenal sejak jaman Perjanjian Lama (PL) sebagai makanan utama (Ulangan 8: 3, Amsal 6: 8), bagian dari ibadah (Keluaran 12: 8), roti sajian (Keluaran 25: 30), dan tentu saja simbol rohani (Yesus berkata, “Akulah roti hidup”). Demikian juga dengan anggur yang merupakan bagian yang familiar dalam kehidupan orang Yahudi. (Contoh, pesta perkawinan di Kana yang ketika itu kehabisan anggur. Dan Yesus menolong pasangan itu). Kebun anggur-Ku, menggambarkan umat Israel. Lalu, Yesus melambangkan anggur sebagai darah-Nya. Nah, semuanya (roti, anggur) memang punya makna tersendiri. Tetapi itu adalah simbol yang dipakai dalam konteks Yahudi. Bagaimana jika di sebuah desa terpencil di Indonesia misalnya tidak ada roti dan anggur, atau penduduknya tidak mengenal roti dan anggur? Apakah mereka tidak boleh menyelenggarakan Perjamuan Kudus? Bukankah berdasarkan situasi seperti ini dapat dibenarkan mengganti roti dan anggur? Tetapi sebaliknya, jika ada tersedia roti dan anggur, mengapa harus memakai yang lainnya? Jadi, dalam masalah ini bukan soal boleh atau tidak, melainkan kenyataan yang ada. Toh, roti yang dipakai umat juga ada perbedaan: ada yang memakai ragi (roti beragi), belum lagi bentuk dan ukurannya seperti apa?. Atau anggurnya: fregmentasi atau bukan, dan berapa banyak jumlah idealnya?. Jadi, sekali lagi, yang prinsip adalah Perjamuan Kudus harus dilakukan. Namun, jika tidak ada dan tidak mungkin mendapatkan roti dan anggur, jangan sampai hal itu menghalangi jemaat untuk menyelenggaran acara Perjamuan Kudus. Sebaliknya, jika ada tersedia anggur dan roti, mengapa harus menggantinya dengan atau oleh alasan apa pun, apalagi dengan alasan bahwa itu relatif? Rasul Paulus berkata, “Tidak semua yang boleh itu berguna” (I Korintus 10: 23-24). Selamat bertindak etis dan jangan sampai menjadi batu sandungan. Begitulah pendapat saya, rekan John. Senang bisa berdialog dengan Anda, walaupun baru bisa melalui REFORMATA. Syalom.*